🔥 Tag Populer 24 Jam

balihindudewasa ayuhari baikbanten

🕒 Pencarian Terakhir

🔍
[menu_topik_slider]
Tayang: Senin, 28 April 2025 05:17 WITA
Penulis: Bram Subali | Editor: Febrianti Saraswati

ORTIBALI.COM – Hari Raya Pemacekan Agung menjadi salah satu momen sakral dalam tradisi Bali yang kaya akan nilai spiritual. Dirayakan lima hari setelah Hari Raya Galungan dan menjelang Hari Raya Kuningan, tepatnya pada Senin Kliwon wuku Kuningan, perayaan ini merupakan bagian tak terpisahkan dari rangkaian Galungan yang diadakan setiap enam bulan sekali atau setiap 210 hari. Bagi masyarakat Bali, Pemacekan Agung bukan sekadar ritual, tetapi juga simbol kebangkitan diri untuk menjalani kehidupan yang lebih mulia.

Makna Filosofis Pemacekan Agung

Kata “Pemacekan” berasal dari kata “macekan” yang berarti menancapkan, sedangkan “Agung” merujuk pada sesuatu yang besar dan luhur. Secara harfiah, Pemacekan Agung dapat dimaknai sebagai tonggak kebangkitan spiritual untuk melakukan perbuatan mulia.

Dalam Lontar Dharma Kahuripan disebutkan bahwa perayaan ini adalah wujud pemusatan diri melalui tapa kepada Sanghyang Dharma, menggambarkan upaya manusia untuk mendekatkan diri pada nilai-nilai kebenaran dan kesucian.

Isi Lontar Dharma Kahuripan terkait Pemacekan Agung disebutkan:

Pamacekan Agung nga, panincepan ikang angga sarira maka sadhanang tapasya ring Sanghyang Dharma.

Sementara itu, Lontar Sundarigama menjelaskan bahwa pada hari ini, umat Hindu Bali mempersembahkan segehan agung saat senja tiba.

Isi Lontar Sundarigama: Soma Kliwon, pemancekan agung ngaran, masegeh agung ring dengen, mesambleh ayam samalulung, pakenania. Ngunduraken sarwa bhuta kabeh.

Upacara ini dilakukan di depan pintu rumah dengan menyiapkan sesaji berupa ayam semalulung, ditujukan kepada Bhuta Kala dan pengiringnya agar kembali ke tempat asalnya dan memberikan keselamatan bagi keluarga. Ritual ini mencerminkan keseimbangan antara penghormatan terhadap kekuatan spiritual dan harapan akan perlindungan.

Ritual dan Tradisi Pemacekan Agung

Pemacekan Agung diisi dengan pemujaan kepada Sang Hyang Widi dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Prameswara. Umat memanjatkan doa untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan. Upacara segehan dilakukan pada waktu sandikala (senja) di halaman rumah dan pintu masuk pekarangan, sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Kala Tiga Galungan. Selain itu, menurut buku Wariga Krimping, hari ini dianggap waktu yang tepat untuk mengadakan upacara di desa atau pekarangan rumah, memperkuat ikatan komunal dan spiritual masyarakat Bali.

Hari ini juga dianggap sebagai “hari manusia”, yang membawa sejumlah pantangan khusus. Salah satu yang menarik adalah larangan memotong rambut atau bergundul. Konon, melanggar pantangan ini dapat menyebabkan gangguan penglihatan hingga kebotakan. Meski terdengar sederhana, pantangan ini mencerminkan kearifan lokal dalam menjaga harmoni dengan alam dan kekuatan spiritual.

Kegiatan yang Dianjurkan

Selain ritual keagamaan, Pemacekan Agung juga menjadi waktu yang baik untuk berbagai aktivitas produktif. Masyarakat Bali memanfaatkan hari ini untuk menanam tanaman berbuah atau berumbi, membangun rumah, membayar kaul, berburu, menagih utang, menyadap nira, hingga mengangkut padi ke lumbung. Dalam tradisi, aktivitas ini diibaratkan seperti “Ratu Makarang”, simbol kemakmuran dan kesuburan yang mendatangkan berkah.

Relevansi Pemacekan Agung di Era Modern

Di tengah modernisasi, tradisi Pemacekan Agung tetap relevan sebagai pengingat akan pentingnya menjaga keseimbangan spiritual dan material. Ritual dan pantangan yang dijalankan bukan sekadar kewajiban adat, tetapi juga cerminan nilai-nilai luhur seperti disiplin, penghormatan terhadap leluhur, dan harmoni dengan alam. Bagi generasi muda, perayaan ini menjadi jembatan untuk memahami identitas budaya Bali yang kaya dan mendalam.

Dengan memahami makna dan tradisi Pemacekan Agung, kita diajak untuk tidak hanya melestarikan budaya, tetapi juga menerapkan nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan sehari-hari. Hari raya ini mengajarkan bahwa setiap langkah kecil, seperti menahan diri dari memotong rambut atau mempersembahkan sesaji, adalah bagian dari perjalanan menuju kehidupan yang lebih bermakna.

***