Penulis: Sumiati Wayan | Editor: Febrianti Saraswati

📷ilustrasi banten yang tengah dihaturkan ketika Soma Pemacekan Agung/ ortibali
ORTIBALI.COM – Dalam kalender keagamaan umat Hindu di Bali, Soma Kliwon Wuku Kuningan dikenal sebagai hari yang sangat sakral. Hari ini dirayakan sebagai Pemacekan Agung, sebuah momen spiritual penting yang menjadi bagian dari rangkaian Hari Raya Galungan dan Kuningan. Meski sering dipandang sebagai hari transisi, makna yang terkandung di dalamnya jauh lebih dalam: ini adalah waktu untuk memusatkan diri, memperkuat spiritualitas, dan meneguhkan kemenangan dharma atas adharma.
Apa Itu Pemacekan Agung?
Secara etimologis, istilah Pemacekan Agung berasal dari kata pacek yang berarti menancapkan atau menetapkan sesuatu, dan agung yang berarti besar, luhur, atau mulia. Makna tersebut menggambarkan inti dari hari ini sebagai momen untuk menancapkan tekad dan tapa spiritual dalam diri masing-masing individu.
Mengacu pada Lontar Dharma Kahuripan, Pemacekan Agung disebut sebagai:
“Pamacekan Agung nga, panincepan ikang angga sarira maka sadhanang tapasya ring Sanghyang Dharma.”
Artinya: Pemacekan Agung adalah pemusatan diri melalui laku tapa sebagai sarana menuju Sanghyang Dharma.
Artinya, hari ini menjadi pengingat agar manusia senantiasa menjaga kesucian pikiran dan tindakan, serta menjadikan kemenangan spiritual sebagai fondasi dalam menjalani hidup.
Posisi Pemacekan Agung dalam Rangkaian Galungan dan Kuningan
Pemacekan Agung jatuh lima hari setelah Hari Raya Galungan dan menjadi penanda batas antara awal dan akhir masa suci Galungan. Ini mencakup periode 30 hari ke belakang hingga 30 hari ke depan, yang dimulai dari Tumpek Wariga hingga Buda Kliwon Pahang.
Selama Pemacekan Agung, umat Hindu Bali umumnya melakukan upacara pada sore hari di halaman rumah atau lebuh. Salah satu sajian khas yang dipersembahkan adalah Segehan Agung dengan ayam samalulung—yaitu ayam muda yang baru menetas dan belum berusia lebih dari tujuh hari.
Mengembalikan Energi Negatif ke Asalnya
Menurut kepercayaan masyarakat Bali, upacara ini bertujuan untuk mengembalikan Sang Bhuta Galungan dan seluruh pengikutnya ke alam asal mereka. Hal ini sejalan dengan filosofi untuk menyeimbangkan kembali energi alam semesta, sekaligus sebagai bentuk permohonan keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Jro Putu Agus Panca Saputra, seorang penekun spiritual, menjelaskan bahwa Pemacekan Agung adalah fase penting dalam mengukuhkan diri setelah melewati perayaan Galungan. “Ini bukan sekadar ritual, tapi proses penguatan batin untuk tidak tergoda kembali oleh pengaruh Sang Kala Tiga, yaitu tiga kekuatan adharma,” jelasnya.
Kekhususan Hari Soma Pemacekan Agung
Keistimewaan Soma Pemacekan Agung, yang jatuh tepat pada Soma Kliwon Wuku Kuningan, juga tercatat dalam Lontar Sundarigama. Dalam lontar itu dijelaskan bahwa umat wajib mempersembahkan segehan agung di depan pintu keluar rumah pada sore hari, lengkap dengan ayam samalulung. Ritual ini menjadi simbol pengembalian seluruh kekuatan Bhuta Kala ke tempat asalnya.
Selain itu, hari ini juga sering dianggap keramat oleh masyarakat karena dipercaya sebagai waktu kawisesan—energi spiritual yang sangat kuat. Dalam tradisi, sehari sebelum Soma Pemacekan Agung, yaitu Redite Kuningan, dikenal sebagai hari pemagpag, yang diyakini sebagai ajang munculnya kekuatan mistik, termasuk leak pemoroan—leak yang tidak belajar melalui sastra suci, melainkan lewat praktik langsung tanpa dasar spiritual yang kuat.
Refleksi dan Kesadaran Diri
Pemacekan Agung sejatinya adalah momen reflektif. Seperti yang diungkapkan Jro Panca, hari ini hendaknya dijadikan momentum untuk memperbarui komitmen diri dalam menjaga nilai-nilai kemanusiaan, menjauhi sifat angkara murka, dan merawat kemenangan spiritual yang telah diraih selama perayaan Galungan.
Dalam dunia modern yang penuh distraksi, momen seperti Pemacekan Agung mengajak setiap individu untuk kembali pada keheningan batin, mengenali jati diri, dan melatih pengendalian diri.
***