Penulis: Putu Wisnu | Editor: Febrianti Saraswati

📷ilustrasi masyarakat Hindu menuju Pura untuk melaksanakan persembahyangan/ ortibali
~
ORTIBALI.COM – Galungan Kuningan tidak saja diawali dari pemasangan Penjor, setidaknya secara keseluruhan rahinan ini berlangsung selama 1 bulan 7 hari atau masyarakat Bali mengenalnya dengan abulan pitung dina. Hari Raya Galungan dan Kuningan bukan sekadar perayaan, tetapi juga perjalanan spiritual yang sarat makna bagi umat Hindu di Bali.
Rangkaian tradisi yang menyertainya mencerminkan harmoni antara manusia, alam, dan leluhur, dengan tujuan menyucikan jiwa serta memperkuat iman. Berikut adalah ulasan lengkap tradisi yang mengiringi perayaan suci ini, yang kaya akan nilai budaya dan spiritual.
Tumpek Wariga: Menghormati Alam dan Kemakmuran
Sekitar 25 hari sebelum Galungan, umat Hindu merayakan Tumpek Wariga, sebuah momen untuk menghormati Sang Hyang Sangkara, dewa kemakmuran dan pelindung tumbuhan. Pada hari ini, pohon-pohon penghasil buah menjadi pusat perhatian.
Masyarakat menyiramnya dengan air suci yang telah dimohonkan di pura, lalu menghaturkan sesaji berupa bubur sumsum berwarna, canang, dan sesayut tanem tuwuh. Sambil mengetuk batang pohon, mereka berdoa agar tanaman segera berbuah lebat, siap mendukung upacara Galungan. Tradisi ini mencerminkan keseimbangan antara manusia dan alam, sekaligus rasa syukur atas karunia bumi.
Sugihan Jawa: Menyucikan Alam Semesta
Datang pada Kamis Wage wuku Sungsang, Sugihan Jawa menjadi waktu untuk membersihkan Bhuana Agung, atau alam semesta. Upacara yang dikenal sebagai Mererebu ini bertujuan menetralkan energi negatif di lingkungan. Umat Hindu membersihkan merajan (sanggah) dan rumah mereka, melambangkan penyucian dunia luar. Tradisi ini mengajarkan pentingnya menjaga harmoni dengan alam sebelum memasuki perayaan besar.
Sugihan Bali: Pembersihan Jiwa dan Raga
Sehari setelah Sugihan Jawa, pada Jumat Kliwon wuku Sungsang, umat Hindu merayakan Sugihan Bali. Jika Sugihan Jawa berfokus pada alam, Sugihan Bali menekankan penyucian Bhuana Alit, yaitu tubuh dan jiwa manusia. Masyarakat mandi untuk membersihkan diri secara fisik, lalu memohon Tirta Gocara kepada sulinggih sebagai simbol penyucian batin. Tradisi ini mengingatkan bahwa kesucian lahir dan batin adalah fondasi menuju Galungan.
Hari Penyekeban: Menahan Diri dari Godaan
Minggu Pahing wuku Dungulan menandai Hari Penyekeban, yang mengandung makna filosofis “nyekeb indriya” atau mengendalikan diri. Umat Hindu diajak untuk membatasi hawa nafsu dan menjauhi perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama. Hari ini menjadi latihan spiritual untuk mempersiapkan hati menyambut Galungan dengan penuh kesadaran.
Hari Penyajan: Meneguhkan Niat
Pada Senin Pon wuku Dungulan, Hari Penyajan dirayakan sebagai momen untuk meneguhkan komitmen spiritual. Di hari ini, umat Hindu percaya bahwa mereka diuji oleh kekuatan negatif untuk mengukur kekuatan pengendalian diri. Tradisi ini mengajarkan keteguhan iman sebagai bekal menuju puncak perayaan Galungan.
Hari Penampahan: Persiapan Penuh Makna
Hari Penampahan, yang jatuh pada Selasa Wage wuku Dungulan, adalah hari sibuk sekaligus penuh simbolisme. Umat Hindu memasang penjor, bambu melengkung yang dihias indah sebagai wujud syukur atas karunia Tuhan. Penjor bukan hanya dekorasi, tetapi juga representasi keindahan dan kemakmuran. Selain itu, tradisi menyembelih babi dilakukan, melambangkan kemenangan atas nafsu kebinatangan dalam diri. Dagingnya digunakan untuk keperluan upacara, sementara masyarakat juga menyiapkan suguhan khusus untuk leluhur yang diyakini hadir mengunjungi keturunannya.
Hari Raya Galungan: Puncak Persembahyangan
Saat Galungan tiba pada Saniscara Pon wuku Dungulan, suasana Bali dipenuhi semangat persembahyangan. Umat Hindu berbondong-bondong menuju merajan, panti, dan pura untuk memanjatkan doa. Bagi keluarga yang masih memiliki anggota keluarga yang dimakamkan, tradisi mamunjung ka setra dilakukan dengan membawa sesaji ke kuburan. Hari ini adalah perayaan kemenangan dharma atas adharma, di mana jiwa-jiwa disucikan dan bersatu dalam keimanan.
Umanis Galungan: Silahturahmi dan Tradisi Ngelawang
Pada Kamis Umanis wuku Dungulan, suasana Galungan berlanjut dengan Umanis Galungan. Setelah persembahyangan, umat Hindu mengadakan Dharma Santi, saling berkunjung ke sanak saudara untuk mempererat tali persaudaraan. Anak-anak turut meramaikan hari ini dengan tradisi Ngelawang, menari barong diiringi gamelan. Tradisi ini dipercaya mampu mengusir energi negatif dan membawa keberkahan bagi lingkungan.
Pemaridan Guru: Memohon Anugerah
Sabtu Pon wuku Galungan adalah Hari Pemaridan Guru, yang berarti memohon berkah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud Sang Hyang Siwa Guru. Hari ini mengajarkan kerendahan hati dalam meminta petunjuk dan anugerah untuk menjalani kehidupan yang lebih baik.
Ulihan: Kembalinya Leluhur
Minggu Wage wuku Kuningan menandai Hari Ulihan, yang berarti “pulang” atau “kembali”. Umat Hindu mempercayai bahwa para leluhur dan dewata kembali ke kahyangan, meninggalkan berkat bagi keturunannya. Hari ini menjadi momen refleksi atas kasih sayang leluhur dan karunia yang telah diberikan.
Pemacekan Agung: Keteguhan Iman
Pada Senin Kliwon wuku Kuningan, Hari Pemacekan Agung dirayakan sebagai simbol keteguhan iman. Kata “pemacekan” berasal dari “pacek”, yang berarti teguh. Hari ini mengingatkan umat Hindu untuk tetap kokoh dalam keyakinan meski menghadapi berbagai godaan selama rangkaian Galungan.
Hari Kuningan: Simbol Kebahagiaan
Hari Kuningan, yang jatuh pada Saniscara Kliwon wuku Kuningan, identik dengan warna kuning yang melambangkan kebahagiaan dan kesejahteraan. Persembahyangan harus selesai sebelum tengah hari, karena setelah itu diyakini hanya Bhuta Kala yang menerima sesaji. Umat Hindu memasang tamiang (simbol senjata Dewa Wisnu), kolem (simbol senjata Dewa Mahadewa), dan endong (simbol perbekalan para dewata). Tradisi ini memperkuat makna perjuangan melawan adharma.
Pegatwakan: Penutup yang Bermakna
Sebulan setelah Galungan, pada Rabu Kliwon wuku Pahang, umat Hindu merayakan Pegatwakan sebagai penutup rangkaian perayaan. Penjor yang telah berdiri sejak Penampahan dicabut, dibakar, dan abunya ditanam di pekarangan rumah. Tradisi ini melambangkan siklus kehidupan dan penyucian lingkungan.
Makna yang Abadi
Rangkaian Galungan dan Kuningan bukan hanya tradisi, tetapi juga cerminan nilai spiritual yang mendalam. Dari Tumpek Wariga hingga Pegatwakan, setiap langkah mengajarkan keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan. Perayaan ini memperkuat ikatan budaya Bali, sekaligus menjadi pengingat akan pentingnya menjaga kesucian hati dan lingkungan. Bagi umat Hindu, Galungan dan Kuningan adalah perjalanan menuju pencerahan dan kebahagiaan sejati.
***