🔥 Tag Populer 24 Jam

balihindudewasa ayuhari baikbanten

🕒 Pencarian Terakhir

🔍
[menu_topik_slider]
Tayang: Rabu, 23 April 2025 13:49 WITA
Penulis: Widyawati | Editor: Febrianti Saraswati

ORTIBALI.COM – Dalam tradisi Hindu Bali, upacara Ngaben merupakan prosesi sakral untuk menyucikan roh leluhur agar dapat mencapai tempat suci. Biasanya, upacara ini segera dilakukan setelah hari baik ditentukan.

Namun, karena berbagai kendala seperti biaya atau waktu, banyak keluarga memilih untuk sementara mengubur jenazah terlebih dahulu sebelum akhirnya melaksanakan Ngaben.

Namun, tidak banyak yang tahu bahwa menunda prosesi Ngaben terlalu lama bisa membawa konsekuensi spiritual yang serius. Jika jenazah tidak segera diaben dalam jangka waktu yang wajar, roh dari orang yang telah meninggal diyakini dapat berubah menjadi Bhuta Cuil—makhluk halus yang sering mengganggu keturunannya.

Makna Bhuta Cuil dalam Ajaran Hindu

Menurut Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, Bhuta Cuil adalah manifestasi roh yang tidak tersucikan karena tubuh kasarnya (Raga Sarira) belum dikembalikan sepenuhnya ke alam. Dalam filsafat Hindu, manusia terdiri dari tiga lapisan: Raga Sarira (tubuh kasar), Suksma Sarira (tubuh halus), dan Antahkarana Sarira atau Atman (roh sejati).

“Raga Sarira tersusun dari lima elemen dasar (Panca Mahabhuta), yakni Pertiwi (tanah), Apah (air), Teja (api), Bayu (angin), dan Akasa (ether). Saat manusia meninggal, tubuh kasarnya harus dikembalikan ke alam melalui upacara Ngaben agar roh dapat lepas dari ikatan duniawi,” jelas beliau.

Jika prosesi Ngaben tidak dilakukan, maka unsur Suksma Sarira yang terdiri dari pikiran, perasaan, dan keinginan akan terus menahan Atman, sehingga roh menjadi bingung dan terjebak di dunia. Inilah asal mula dari Bhuta Cuil.

Roh Gentayangan Akibat Tidak Diaben

Roh yang telah menjelma menjadi Bhuta Cuil kerap menunjukkan tanda-tanda kehadirannya di dunia niskala. Mereka bisa mengganggu kehidupan keluarga yang ditinggalkan sebagai bentuk “peringatan” agar segera dilakukan upacara pemurnian. Roh tersebut masih terikat oleh emosi, nafsu, bahkan rasa marah jika kematiannya tergolong Salah Pati (kematian tidak wajar), sehingga membuatnya enggan meninggalkan alam dunia.

“Atman sejatinya murni dan suci. Namun, jika masih terikat oleh tubuh halusnya, maka roh itu bisa menjadi gentayangan dan tak kunjung tenang,” terang Ida Rsi Waisnawa.

Pangaskaran: Jalan Menuju Pitra

Untuk membersihkan roh dari ikatan duniawi, diperlukan upacara khusus bernama Pangaskaran. Ini adalah ritual spiritual yang berfungsi sebagai inisiasi agar roh dapat berubah status dari Preta (roh yang belum tersucikan) menjadi Pitra (roh suci).

“Upacara Pangaskaran wajib dilakukan dalam prosesi Ngaben, karena itulah yang menyucikan roh dari Suksma Sarira. Ini ibarat tahapan padwijatian atau pentahbisan spiritual bagi arwah,” tegasnya.

Namun, tak semua orang bisa memimpin prosesi Pangaskaran. Hanya sulinggih yang telah melaksanakan Mapulang Lingga yang dianggap pantas melaksanakan ritual ini. Hal ini karena sulinggih tersebut dianggap telah terbebas dari ikatan duniawi dan mampu menghantarkan Atman menuju alam suci.

Ajakan untuk Segera Mengaben

Ida Rsi Waisnawa mengajak masyarakat agar tidak menunda prosesi Ngaben, terutama bagi leluhur yang sudah lama meninggal namun belum disucikan. Bila alasan utamanya adalah biaya, Ngaben massal atau pemanfaatan fasilitas krematorium bisa menjadi solusi yang lebih terjangkau.

“Jangan sampai karena alasan ekonomi, kita lalai menjalankan kewajiban kepada leluhur. Biarlah mereka mendapatkan jalan pulang yang layak, bukan menjadi Bhuta Cuil yang terjebak di alam antara,” imbaunya.

***