
📷ilustrasi umat Hindu sedang melaksanakan persembahyangan/ ortibali
Penulis: Orti Bali | Editor: Bram Subali
ORTIBALI.COM – Presiden pertama Indonesia, Soekarno, pernah menyampaikan dalam pidatonya bahwa manusia membutuhkan makanan untuk bertahan hidup, makanan itu memerlukan uang, uang didapat melalui pekerjaan, dan untuk mendapatkan pekerjaan, seseorang harus belajar. Pernyataan ini secara tak langsung menyoroti hubungan erat antara pendidikan, keuangan, dan kelangsungan hidup. Oleh karena itu, setiap orang membutuhkan uang, berupaya mencarinya, dan menggunakannya untuk menjalani kehidupan sehari-hari.
Masalahnya muncul pada pemahaman tentang uang itu sendiri, bentuknya, serta keyakinan umat Hindu yang melihat uang sebagai manifestasi Tuhan dalam wujud Dewa Uang. Saat ditanya mengenai Dewa Uang, jawaban orang-orang bervariasi: ada yang menyebut Bhatara Sri Rambut Sedana atau Bhatara Sedana, sementara yang lain justru mengaitkannya dengan hal-hal seperti bank, tuyul, atau brerong, yang bisa menyesatkan.
Pendapat yang mengidentifikasi Dewa Uang sebagai Bhatara Sri Rambut Sedana, Bhatara Sedana, Bhatari Melanting, Bhatari Mas Meketel, Bhatari Subadar, Bhatara Ulan Alu, atau nama-nama lain sepenuhnya valid. Ini karena prinsip keyakinan bergantung pada swadharma atau tugas penyembahnya. Bhagawadgita 4.11 menyatakan dengan jelas: “Dengan jalan apa pun kau menyembah-Ku, Aku akan menerimanya, karena itu adalah jalan-Ku.”
Bhagawadgita mewakili sintesis dan toleransi tertinggi dari berbagai aliran pemikiran. Brahman bersifat tak terbatas, begitu pula aspek-aspek-Nya, sehingga jalan menuju-Nya pun tak terbatas. Bhagawadgita menekankan bahwa pelaksanaan ajaran agama diserahkan pada pilihan individu. Bagi kitab ini, manusia ideal adalah yang memiliki budi pekerti harmonis, aktif bekerja, humanis, berusaha keras, mencari pembebasan jiwa, memahami Atman, dan berbakti kepada Brahman.
Berbicara tentang uang, tak ada salahnya memulai dari definisi dasarnya. Uang adalah alat tukar yang diterima secara umum, bisa berupa apa saja yang disepakati dalam pertukaran barang atau jasa. Uang dibagi menjadi dua jenis utama: uang kartal dan uang giral. Uang kartal meliputi kertas dan logam, yang merupakan alat pembayaran sah dan wajib diterima dalam transaksi harian. Sementara uang giral muncul karena kebutuhan akan alat tukar yang lebih praktis, mudah, dan aman.
Secara umum, uang berfungsi sebagai perantara pertukaran barang atau jasa, menghindari sistem barter yang rumit. Fungsi utamanya ada tiga: alat tukar, satuan hitung, dan penyimpan nilai. Selain itu, ada fungsi turunan seperti alat pembayaran sah, pembayaran utang, penimbun kekayaan, pemindah kekayaan, serta pendorong aktivitas ekonomi.
Pengertian, jenis, dan fungsi uang ini membuatnya menjadi elemen krusial dalam kehidupan manusia. Karena itu, umat Hindu memuja uang sebagai salah satu manifestasi Brahman. Dalam kitab suci Hindu, Dewa Uang disebut Dewa Kuwera atau Kubera—huruf ‘w’ dan ‘b’ dalam bahasa Sanskerta saling terkait.
Dewa Kuwera juga dikenal sebagai Dhanapati atau Wisrawana, yang bertugas sebagai bendahara kahyangan atau pengelola kekayaan para dewa. Wajar jika beliau disembah sebagai Dewa Uang dan Dewa Kekayaan, meski di kalangan umat Hindu Bali, nama ini kurang populer. Inilah dilema Dewa Kuwera: dicari oleh semua orang setiap saat, tapi sering tak dikenal, terpinggirkan, bahkan dilupakan.
Keyakinan masyarakat Hindu Bali mulai bergeser dari Dewa Kuwera. Kearifan lokal Bali lebih menonjolkan Bhatara Sri Rambut Sedana atau Bhatara Sri Sedana sebagai Dewa Kemakmuran dan Kekayaan. Dari etimologi, “Sri” berarti cantik, subur, makmur, kebahagiaan, dan kemuliaan. “Sedana” berasal dari “dana” dengan awalan “se-“, yang berarti memberi, derma, atau kemurahan hati.
Jadi, Bhatara Sri Sedana melambangkan kekuatan Brahman yang memberikan kesuburan, kemakmuran, kebahagiaan, kemuliaan, derma, dan kemurahan. Fungsi dan tugasnya mirip dengan Dewa Kuwera, sehingga wajar jika Dewa Kuwera dicari tapi dipinggirkan, karena umat Hindu Bali memiliki genius lokal berupa Bhatara Sri Sedana.
Pemujaan terhadap Bhatara Sri Sedana dilakukan setiap 210 hari sekali, tepatnya pada Rabu Wage Wuku Klawu, atau dikenal sebagai Buda Wage Klawu alias Buda Cemeng Klawu. Pada hari itu, lembaga-lembaga keuangan seperti bank, pedagang, pura melanting, pelinggih rong dua, celengan, dan lainnya ramai melaksanakan upacara keagamaan bernuansa Hindu. Semua ini sebagai ungkapan syukur atas karunia Brahman melalui manifestasi Dewa Kuwera, meski di Bali disebut Bhatara Sri Sedana. Khusus uang kepeng, yang punya nilai magis karena terbuat dari pancadatu (tembaga simbol Dewa Brahma, timah simbol Dewa Siwa, besi simbol Dewa Wisnu, perak simbol Dewa Iswara, emas simbol Dewa Mahadewa), menjadi pusat pemujaan. Bentuk bulatnya juga melambangkan windu, dan uang ini merupakan hasil akulturasi budaya Cina-Bali dari pengaruh Putri Khang Cing We dengan Raja Jayapangus.
Agama Hindu mengajarkan prinsip “Moksa artham jagadhita ya ca iti dharma”, yang berarti tujuan beragama adalah mencapai jagadhita (kesejahteraan) dan moksa (kebahagiaan abadi). Jagadhita adalah kesejahteraan jasmani, sementara moksa adalah ketentraman batin dan penyatuan atma dengan Sang Hyang Widhi Wasa.
Kitab Sarasamuscaya 15 menjelaskan: “Perhatikan dan ingatlah dalam mengusahakan kama, artha, dan moksa, karena tak ada pahalanya jika tak melalui dharma. Yang diusahakan dengan dharma pasti tercapai, meski hanya dalam angan-angan.”
Ajaran ini dijabarkan dalam konsep catur purusa artha atau catur warga, yang berarti empat tujuan utama hidup manusia yang saling terkait. Sloka dari Brahma Purana menyatakan: “Dharma, artha, kama, moksa—sariram sadhanam,” artinya badan adalah alat untuk mencapai dharma, artha, kama, dan moksa.
Ini menjadi pedoman hidup yang harus dipahami dan diwujudkan. Komponen catur purusa artha meliputi: dharma sebagai kewajiban benar dan abadi; artha sebagai tujuan utama dan kekayaan; kama sebagai keinginan yang memberikan kepuasan; moksa sebagai ketenangan spiritual abadi atau nirwana.
Nitisastra III.8 menguraikan bahwa kegunaan utama harta seperti emas dan perak adalah menolong orang yang sengsara, serta menjaga kekayaan dengan sedekah. Harta seperti gelombang samudra: deras dan kencang, tapi akhirnya hilang jika tak dikelola.
Penggunaan harta harus sesuai Canti Parwa 25: “Kesentosaan manusia dan kesejahteraan masyarakat berasal dari dharma, laksana, dan budi luhur—itu tujuan utama dharma.”
Manusia harus sadar bahwa hidup adalah perjalanan mencari dan bersatu dengan Sang Hyang Widhi Wasa, seperti mengarungi samudra bergelombang. Bhagawadgita menekankan ilmu tentang jiwa atau Brahman sebagai tujuan akhir. Semua keyakinan, ajaran kebajikan, dan etika bersumber dari Brahman. Tak ada keyakinan yang bermakna jika tak membantu mengangkat kesadaran manusia, terutama dalam konflik batin. Inilah dilema Dewa Uang atau Dewa Kuwera: dicari tapi sering dipinggirkan atau tak dikenal.
Jika menghadapi kesulitan keuangan, sulit mendapat pekerjaan, atau rezeki menurun, umat Hindu Bali disarankan mengingat Sang Hyang Widhi yang bermanifestasi sebagai Dewa Keberuntungan. Jangan lupakan tujuan hidup, laksanakan panca yadnya, ingat Dewa Uang, dan gunakan sesuai dharma. Salah satunya melalui sembahyang atau meditasi khusus seperti meditasi sridhana.
Mantra Pemujaan Memohon Rezeki
Secara umum, masyarakat Indonesia lebih menyukai afirmasi, yang berfungsi merangsang alam bawah sadar agar aktif sesuai keinginan sekaligus sebagai doa. Berikut contoh afirmasi untuk menarik dan melancarkan rezeki, dibaca setiap pagi setelah bangun dan sebelum tidur: “Saya bersatu dengan kekayaan tak terbatas. Saya berhak menjadi kaya, bahagia, dan sukses. Uang mengalir kepada saya dengan bebas, berlebih, dan tanpa henti. Saya selalu sadar akan harga diri saya sebenarnya. Saya berikan semua bakat saya dan saya selalu mujur.” (Dari buku “Energi Dahsyat Kekuatan Bawah Sadar” karya Joseph Murphy).
Dalam ajaran dharma Hindu, ada mantra pemujaan untuk memohon rezeki. Beberapa di antaranya:
- Japa mantra untuk Ganapati: Om Gum Ganapatayei Namaha. Mantra ini untuk memohon pelimpahan rezeki, keberuntungan, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Diulang 108 kali.
- Japa mantra untuk Dewa Uang atau Dewa Kuwera: Om Shreem, Om Hreem, Shreem, Hreem, Kleem, Shreem, Kleem, Vitesvara-ay namah.
- Mantra Gayatri untuk memohon rezeki dan keberuntungan: Om Bhur Bhuvah Swaha, Om Shreem Hreem Shreem, Tat Savitur Varenyam, Bhargo Devasya Dheemahi, Dhiyo Yo Nah Prachodayat. Diulang 108 kali setiap hari, idealnya pagi hari setelah tugas harian.
Pada odalan di pelinggih Bhatara/i Sri Sedana, gunakan mantra: Om Sridhana Dewika Ramya, Sarwa Rupawati Tatha, Sarwa Jnana Maniscaiwa, Sri Sridewi Namo’stute. Artinya: Hyang Widhi sebagai Sridhana, pemberi kemakmuran, rezeki, dan harta; semua wujud-Mu mempesona, semua pengetahuan dari-Mu; Sri Sridewi yang suci, hamba memuja-Mu.
Om Kuwera Dewa Ya Namah Swaha. Artinya: Ya Tuhan sebagai Sang Hyang Kuwera, penguasa kekayaan, hamba bersujud pada-Mu.
Menurut Lontar Sundarigama, hari Sukra Umanis Merakih adalah pemujaan Bhatara Sri Sedana, juga disebut Sang Hyang Rambut Kaphala atau Sang Hyang Kamajaya (manifestasi Hyang Widhi yang memberi kenikmatan hidup). Upacara bebanten: suci, daksina, pras penek ajuman, soda putih kuning. Tempat: di penyimpanan harta kekayaan.
Ritual untuk Memperlancar Rezeki
Beberapa ritual dalam tradisi Hindu untuk memperlancar rezeki meliputi:
- Selalu berpikir positif.
- Jaga ucapan, bertutur sopan, dan bangun komunikasi harmonis.
- Jangan takut meminta maaf, meski merasa tak bersalah.
- Selalu berusaha dan bekerja keras.
- Sisihkan 30% rezeki untuk dharma, seperti dana punia.
- Rajin membantu sesama; bantu orang sukses, maka diri sendiri akan lebih sukses.
- Jangan tinggalkan sembahyang; lakukan japa mantra setiap hari.
- Meditasi sebelum matahari terbit atau yoga saat terbit.
Dengan menjalankan ini, rezeki dan keberuntungan dijamin semakin berlimpah.
Apakah ritual ini punya dasar? Ya, berdasarkan sloka ajaran dharma seperti Saracamuccaya sloka 261-262 tentang pembagian kekayaan, dan Bhagawad Gita XVII.14-16.
***