Penulis: Widyawati | Editor: Febrianti Saraswati

📷Ilustrasi umat Hindu sedang melaksanakan persembahyangan/ ortibali
ORTIBALI.COM – Dalam kalender Bali, Tilem Sasih Kedasa memiliki tempat istimewa sebagai salah satu rahinan suci yang sarat makna spiritual.
Tilem atau bulan mati pada bulan kesepuluh ini bukan sekadar penanggalan rutin, melainkan momen penuh makna yang diyakini sebagai waktu paling gelap dalam satu siklus bulan.
Namun di balik kegelapan itu, tersimpan peluang besar untuk penyucian diri dan peleburan dosa melalui prosesi melukat.
Waktu Paling Sakral dalam Siklus Tilem
Tilem Kedasa dikenal juga dengan sebutan Krsna Paksa, yaitu fase bulan gelap yang terjadi setiap bulan. Namun di antara semua Tilem, Tilem Kedasa disebut-sebut sebagai puncaknya.
Dalam ajaran Hindu Bali, kegelapan ini bukan hal yang menakutkan, melainkan simbol dari transisi menuju terang — sebagaimana tertulis dalam Lontar Sundarigama, yang menyebut Tilem sebagai masa peralihan dari gelap menuju terang.
Pada hari ini, umat Hindu melakukan persembahyangan mulai dari rumah, sanggah, hingga pura kahyangan. Dewa Surya digambarkan sedang melakukan payogan atau semedi, menjadikan hari Tilem sebagai saat yang tepat untuk merefleksikan diri dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Melukat dan Kisah Spiritual di Balik Tilem
Salah satu praktik spiritual yang kerap dilakukan saat Tilem Kedasa adalah melukat — ritual pembersihan diri secara lahir dan batin dengan menggunakan air suci.
Momen ini diyakini sangat ideal untuk melukat karena energi spiritual bumi sedang berada dalam titik hening dan kuat, membantu proses pembersihan dari hal-hal negatif.
Hari suci ini juga sering dikaitkan dengan kisah Panca Pandawa, tokoh epik Mahabharata, yang dikisahkan meninggalkan perkemahan demi melakukan penyucian diri. Cerita ini menjadi pengingat pentingnya menyisihkan waktu untuk menyucikan jiwa dari beban duniawi.
Persembahan Suci dan Kearifan Lokal
Dalam pelaksanaan upacara Tilem, umat biasanya menyiapkan banten atau persembahan seperti sesayut widyadari dan wangi-wangi. Semua dilakukan dengan prinsip desa kala patra — menyesuaikan tempat, waktu, dan kondisi masing-masing individu atau wilayah. Tidak ada standar mutlak, karena esensinya adalah keikhlasan dan ketulusan dalam sembah sujud kepada Tuhan.
Selain sebagai hari penyucian diri, Tilem juga menjadi momen pemujaan kepada Dewa Siwa — Sang Pelebur dalam ajaran Tri Murti. Oleh karena itu, umat Hindu menyambut Tilem Kedasa dengan penuh kesungguhan dan kesadaran spiritual yang mendalam.
***