Penulis: Sumiati Wayan | Editor: Febrianti Saraswati

📷ilustrasi tugtug kambuhan ritual/ Wikipedia /ortibali
ORTIBALI.COM – Di tengah kekayaan budaya Bali yang menjunjung tinggi nilai spiritual, setiap fase kehidupan manusia disambut dengan upacara suci. Salah satunya adalah Upacara Tutug Kambuhan, sebuah tradisi penting yang dilangsungkan ketika bayi genap berusia 42 hari. Dalam masyarakat Bali, ritual ini bukan sekadar seremoni adat, melainkan tonggak awal penyucian lahir dan batin bagi bayi serta ibunya.
Abulan Pitung Dina: Makna di Balik Usia 42 Hari
Upacara ini juga dikenal dengan sebutan Abulan Pitung Dina, yang berarti “sebulan tujuh hari” dalam sistem kalender wuku Bali. Satu wuku terdiri dari tujuh hari, dan enam wuku berarti 42 hari. Di usia ini, bayi dianggap telah melewati tahap krusial dalam pertumbuhannya. Tali pusarnya biasanya telah lepas, kulit lapisan awal terganti, dan fungsi-fungsi dasar tubuh mulai berjalan normal.
Tak hanya bayi, sang ibu pun dinilai telah pulih dari masa nifas. Inilah saat yang tepat untuk menjalani prosesi spiritual bersama, sebagai bentuk penyucian dan pembaruan energi setelah kelahiran.
Dimensi Spiritual: Perpisahan dengan Nyama Bajang
Makna terdalam dari Tutug Kambuhan terletak pada dimensi spiritualnya. Salah satu tujuan utama ritual ini adalah mengantarkan Nyama Bajang—roh pendamping janin selama dalam kandungan—kembali ke alam asalnya. Dalam keyakinan Hindu Bali, Nyama Bajang adalah penjaga halus yang menemani pertumbuhan bayi di rahim.
Melalui upacara ini, keluarga menyampaikan rasa terima kasih dan penghormatan kepada kekuatan gaib yang telah menjaga keselamatan sang anak. Ini juga menandai dimulainya kehidupan baru sang bayi, yang kini siap berjalan dalam harmoni dengan alam dan semesta.
Di Mana dan Bagaimana Tutug Kambuhan Dilakukan?
Upacara Tutug Kambuhan biasanya digelar di rumah, dipimpin oleh seorang sulinggih (pendeta Hindu). Prosesi dilangsungkan di tiga titik penting, masing-masing merepresentasikan tiga aspek utama kekuatan Tuhan dalam konsep Tri Murti:
-
Dapur – tempat pemujaan Dewa Brahma (pencipta),
-
Tempat pemandian – simbol Dewa Wisnu (pemelihara),
-
Sanggah Kamulan – altar utama untuk Dewa Siwa (pelebur).
Setiap titik dihiasi dengan banten (sesajen) dan disertai pembacaan doa-doa suci. Tujuan utama prosesi ini adalah memohon keselamatan, kebersihan jiwa, dan perlindungan dari pengaruh buruk—baik yang tampak maupun tak kasat mata.
Melukat dan Natab: Inti dari Ritual Penyucian
Dua komponen penting dalam upacara ini adalah melukat dan natab. Melukat merupakan ritual pembersihan diri secara spiritual, sedangkan natab adalah pemberkatan yang diberikan oleh pendeta.
Kedua elemen ini menjadi inti dari transformasi energi bayi dan ibunya. Selain menyucikan, ritual ini juga menyimbolkan harapan orang tua agar sang anak tumbuh sehat, kuat, dan selalu berada dalam lindungan spiritual.
Sebagai penutup, seluruh anggota keluarga melakukan sembahyang bersama, memanjatkan doa kepada Sanghyang Widhi Wasa sebagai bentuk syukur dan permohonan untuk hidup yang seimbang dan bahagia.
Warisan Budaya yang Sarat Nilai Kehidupan
Lebih dari sekadar tradisi turun-temurun, Tutug Kambuhan adalah cerminan filosofi hidup masyarakat Bali. Ia mengajarkan pentingnya menjaga keselarasan antara tubuh, jiwa, dan alam sejak awal kehidupan.
Tak heran jika ritual 42 hari bayi di Bali ini dianggap sakral dan wajib dijalankan. Bagi umat Hindu di Pulau Dewata, upacara ini adalah wujud kasih sayang, rasa syukur, dan komitmen untuk menumbuhkan generasi yang kuat secara spiritual dan emosional.
***