🔥 Tag Populer 24 Jam

balihindudewasa ayuhari baikdoa

🕒 Pencarian Terakhir

🔍
[menu_topik_slider]
Tayang: Rabu, 16 April 2025 06:51 WITA
Penulis: Putu Wisnu | Editor: Febrianti Saraswati

 

ORTIBALI.COM – Jelang perayaan akbar Hari Raya Galungan, umat Hindu di Bali memiliki serangkaian upacara sakral yang sarat makna. Dua di antaranya adalah Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Meski berurutan dalam kalender perayaan, kedua rahina (hari suci) ini memiliki perbedaan mendasar dalam konsep dan pelaksanaannya. Mari kita telaah lebih dalam perbedaan antara Sugihan Jawa dan Sugihan Bali.

Sugihan Jawa: Pembersihan Jagat Raya Menjelang Galungan

Diperingati enam hari sebelum Galungan, penanggalan Bali mencatat rahina Sugihan Jawa dirayakan setiap 210 hari sekali, tepatnya pada Kamis atau Wraspati Wage Sungsang. Nama “Sugihan Jawa” sendiri berasal dari akar kata “sugi” yang bermakna membersihkan, dan “jawa” yang berarti luar.

Dengan demikian, Sugihan Jawa esensinya adalah hari penyucian sekala (nyata) dan niskala (tak nyata) terhadap alam semesta atau bhuana agung.

Dalam Lontar Sundarigama, Sugihan Jawa disebutkan sebagai “pasucian dewa kalinggania pamrastista bhatara kabeh”, yang berarti momen penyucian bagi para dewa dan bhatara (manifestasi Tuhan).

Implementasi penyucian sekala pada Sugihan Jawa ditandai dengan aktivitas membersihkan bangunan-bangunan suci seperti pura, paibon (pemerajan keluarga), serta berbagai perlengkapan upacara. Sementara itu, penyucian niskala dilakukan melalui persembahan sesajen pangresikan (persembahan penyucian) yang ditujukan kepada tempat-tempat suci, pralingga (simbol suci), maupun pratima (arca).

Dra. Ni Made Sri Arwati dalam bukunya “Hari Raya Galungan” (1992) menjelaskan bahwa prosesi inti saat Sugihan Jawa adalah “pamretistan ring Bhatara Kabeh” melalui upacara mererebu di pemrajan atau sanggah (merajan). Inilah mengapa Sugihan Jawa juga dikenal dengan istilah parerebon, yang menandakan turunnya seluruh Bhatara ke dunia.

Upacara mererebu ini dilengkapi dengan upakara pengeresikan (perlengkapan penyucian) menggunakan bunga-bunga harum sebagai sarana untuk menstanakan (menghadirkan) para Dewa dan Pitara (leluhur). Dalam pelaksanaannya, upakara parerebuan ini idealnya menggunakan guling itik (bebek panggang).

Rangkaian prosesi parerebuan atau pembersihan secara niskala dimulai dari bangunan suci yang paling utama, seperti Padmasana, Kemulan, Meru, Gedong, Taksu, hingga akhirnya dilaksanakan di jaba (halaman terluar). Sarana persembahyangan dilengkapi dengan segehan (persembahan kecil) dan tetabuhan arak-berem (persembahan minuman beralkohol tradisional).

Setelah seluruh rangkaian upacara selesai, umat Hindu kemudian melaksanakan persembahyangan dan matirtha (memohon air suci). Setelah menerima tirtha, maka berakhir pula pelaksanaan Sugihan Jawa. Penting untuk dicatat bahwa rangkaian prosesi Sugihan Jawa dapat bervariasi di setiap daerah, mengikuti dresta (adat dan tradisi) masing-masing.

Sugihan Bali: Fokus Pembersihan Diri dan Introspeksi

Sehari setelah Sugihan Jawa, umat Hindu di Bali kembali merayakan rahina Sugihan Bali, yang pada tahun 2024 jatuh pada Jumat, 23 Februari. Sugihan Bali juga merupakan bagian tak terpisahkan dari rangkaian Hari Raya Galungan dan diperingati setiap 210 hari sekali pada Sukra Kliwon Wuku Sungsang.

Berbeda dengan fokus pada alam semesta pada Sugihan Jawa, Sugihan Bali adalah hari penyucian terhadap alam mikrokosmos atau bhuana alit, yaitu diri sendiri. Mengutip laman resmi PHDI, nama Sugihan Bali berasal dari kata “sugi” yang berarti membersihkan dan “bali” yang dalam bahasa Sansekerta bermakna kekuatan yang ada dalam diri.

Prosesi pembersihan menjelang Galungan pada Sugihan Bali dilakukan secara sekala dan niskala, baik lahir maupun batin. Hari ini menjadi momen yang baik untuk melakukan penglukatan (pembersihan spiritual), yang salah satu sarananya dapat menggunakan bungkak nyuh gading (kelapa gading muda).

Lontar Sundarigama menjelaskan bahwa Sugihan Bali adalah “kalinggania amrestista raga tawulan”, yang berarti penyucian badan jasmani dan rohani atau bhuana alit dilakukan dengan memohon tirtha pembersihan atau penglukatan.

Dra. Ni Made Sri Arwati dalam bukunya kembali menegaskan bahwa tidak ada upacara khusus yang secara spesifik dilaksanakan saat Sugihan Bali. Umat dapat memohon tirtha pengelukatan kepada Sang Sadaka atau Sulinggih (pendeta Hindu). Selebihnya, perayaan Sugihan Bali dilakukan dengan persembahyangan seperti pada hari-hari Kliwon lainnya.

Selain penglukatan, Sugihan Bali juga menjadi waktu yang dianjurkan untuk melakukan yoga semadi (meditasi). Tujuannya adalah untuk mulat sarira atau introspeksi diri dan menahan diri dari segala macam godaan indria.

Sama halnya dengan Sugihan Jawa, prosesi saat Sugihan Bali dapat dilaksanakan sesuai dengan desa, kala, patra (tempat, waktu, dan keadaan) masing-masing. Hal inilah yang menyebabkan adanya potensi perbedaan dalam perayaan Sugihan Bali di berbagai daerah di Bali.

Dengan memahami perbedaan mendasar antara Sugihan Jawa yang berfokus pada penyucian alam semesta dan Sugihan Bali yang menekankan pembersihan diri, umat Hindu diharapkan dapat menghayati makna yang lebih dalam dari setiap rangkaian perayaan Hari Raya Galungan. Kedua rahina ini menjadi persiapan spiritual dan fisik yang penting untuk menyambut kemenangan Dharma melawan Adharma.

***