🔥 Tag Populer 24 Jam

balihindudewasa ayuhari baikdoa

🕒 Pencarian Terakhir

🔍
[menu_topik_slider]
Tayang: Selasa, 15 April 2025 08:08 WITA
Penulis: Orti Bali

DENPASAR, ORTIBALI.COM – Umat Hindu di Bali bersiap menyambut Hari Raya Galungan pada tanggal 23 April 2025, sebuah perayaan suci yang sarat akan makna filosofis dan spiritual. Lebih dari sekadar tradisi, Galungan adalah momentum penting untuk merenungkan sejarah kosmos, merayakan kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (kejahatan), serta mengendalikan gejolak hawa nafsu.

Perayaan ini bukan hanya menjadi penanda penting dalam kalender Bali, namun juga cerminan nilai-nilai luhur yang diwariskan turun-temurun. Berikut adalah tujuh fakta esensial yang mengungkap kedalaman makna Hari Raya Galungan bagi umat Hindu:

1. Memahami Esensi Galungan: Lebih dari Sekadar Perayaan

Inti dari Hari Raya Galungan adalah peringatan terciptanya alam semesta beserta segala isinya. Pada hari yang istimewa ini, umat Hindu merayakan kejayaan kebaikan yang menaklukkan kebatilan. Persembahyangan khusyuk ditujukan kepada Sang Hyang Widhi dan para Dewa atau Bhatara, sebagai wujud rasa syukur atas anugerah kehidupan dan sekaligus permohonan akan keselamatan serta kedamaian. Secara historis, Galungan juga memperingati kemenangan Dewa Indra atas Mayadenawa, simbolisasi dari penumpasan kejahatan.

2. Filosofi Tersembunyi: Pertarungan Internal dan Eksternal

Makna Hari Raya Galungan melampaui sekadar seremoni kemenangan. Perayaan yang jatuh pada wuku Dungulan ini secara harfiah mengandung arti “kemenangan”. Secara spiritual, Galungan merefleksikan perjuangan abadi antara manusia dengan bhuta tiga, representasi dari tiga jenis hawa nafsu (pikiran buruk, perkataan kasar, dan perbuatan tercela) yang berpotensi mengganggu keseimbangan hidup. Rangkaian pertempuran simbolis ini berlangsung sejak Minggu Dungulan hingga Selasa Dungulan, mencapai puncaknya pada Rabu Dungulan, yang merupakan inti dari Hari Raya Galungan.

3. Siklus Enam Bulanan: Ritme Perayaan dalam Kalender Bali

Keunikan Hari Raya Galungan terletak pada periodisitas perayaannya. Tidak seperti perayaan tahunan pada umumnya, Galungan dirayakan setiap enam bulan sekali atau setiap 210 hari berdasarkan penanggalan Saka Bali. Dengan demikian, umat Hindu merayakan Galungan sebanyak dua kali dalam setahun. Tanggal perayaannya selalu bertepatan dengan Rabu Kliwon Wuku Dungulan, sebuah konfigurasi hari yang signifikan dalam sistem kalender tradisional Bali.

4. Rangkaian Ritual Panjang: Persiapan Spiritual Menjelang Hari Suci

Perayaan Galungan bukanlah peristiwa tunggal. Jauh sebelum hari puncak tiba, umat Hindu telah disibukkan dengan serangkaian ritual yang dimulai 25 hari sebelumnya. Tahapan-tahapan penting ini meliputi upacara Tumpek Wariga, Sugihan Jawa, Sugihan Bali, serta hari-hari persiapan lainnya seperti Hari Penyekeban, Hari Penyajan, dan Hari Penampahan. Bahkan setelah Galungan usai, perayaan masih berlanjut dengan Hari Umanis Galungan, yang diisi dengan sembahyang, Dharma Santi (silaturahmi dan berbagi kebaikan), serta kunjungan ke keluarga dan tempat rekreasi.

5. Jejak Sejarah: Galungan Sejak Abad ke-9 Masehi

Akar sejarah Hari Raya Galungan tertuang dalam lontar Purana Bali Dwipa, yang mencatat bahwa perayaan ini pertama kali diselenggarakan pada tahun 882 Masehi atau tahun 804 Saka. Dalam manuskrip kuno tersebut, disebutkan bahwa upacara Galungan perdana dilaksanakan pada Rabu Kliwon, Duku Dungulan bulan keempat, tanggal 15 tahun 804 Saka. Sejak saat itu, perayaan ini menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi dan kehidupan spiritual masyarakat Bali.

6. Sempat Terhenti: Episode Kelam dalam Sejarah Galungan

Meskipun memiliki sejarah panjang, perayaan Hari Raya Galungan pernah mengalami masa vakum selama 23 tahun. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1103 Saka di bawah pemerintahan Raja Sri Ekajaya. Terhentinya perayaan ini diyakini disebabkan oleh bencana dahsyat yang melanda Bali pada masa itu. Namun, pada tahun 1126 Saka, Raja Sri Jayakasunu kembali menghidupkan perayaan Galungan setelah melakukan tapa brata dan semedi. Dalam meditasinya, raja mendapat petunjuk bahwa musibah yang terjadi diakibatkan oleh absennya perayaan Galungan. Sejak saat itu, Galungan kembali dirayakan secara berkelanjutan hingga kini.

7. Simbolisme Penjor: Ungkapan Syukur dan Kemakmuran

Salah satu ikon visual yang tak terpisahkan dari perayaan Galungan adalah Penjor. Struktur bambu yang melengkung dihiasi dengan janur (daun kelapa muda) dan berbagai hasil bumi seperti buah-buahan, umbi-umbian, dan biji-bijian. Bagi umat Hindu, Penjor melambangkan Gunung Agung, gunung suci yang dianggap sebagai sthana (tempat bersemayam) Sang Hyang Brahma, sekaligus simbol kekuatan ilahi.

Selain itu, Penjor juga merupakan representasi rasa syukur umat Hindu kepada Sang Hyang Widhi atas segala limpahan rezeki dan menjadi simbol kemakmuran serta kemenangan. Pemasangan Penjor dilakukan pada Hari Penampahan, sehari sebelum Hari Raya Galungan, tepatnya pada Selasa Wage Wuku Dungulan setelah pukul 12.00 siang.

Hari Raya Galungan adalah sebuah perayaan spiritual yang kaya akan makna bagi umat Hindu, khususnya di Bali. Lebih dari sekadar merayakan kemenangan kebaikan, Galungan mengajarkan tentang pentingnya pengendalian diri, menjaga keseimbangan hidup, dan bersyukur atas segala anugerah. Dengan sejarah yang panjang, rangkaian ritual yang mendalam, dan simbol-simbol yang kuat, Galungan terus menjadi perayaan yang relevan dan penuh makna bagi generasi umat Hindu hingga saat ini.

***